Recent in Technology

Upacara Ngaben


Ngaben merupakan upacara pembakaran jenazah yang sering dilakukan pemeluk Hindu di Bali. Upacara ini, bagi masyarakat setempat lebih sering disebut Pitra Yadnya,palebon atau mageseng. Pitra Yadnya adalah salah satu dari lima rangkaian panca Yadnya yang berarti pengorbanan yang dilandasi dengan hati yang tulus suci lepada leluhur,terutama kepada orang tua. Seperti telah kita ketahui, bahwa ada tiga jalan yang dapat ditempuh untuk menggelar yadnya,yakni nista, madya dan utama. Upacara ngaben pun dapat ditempuh yaitu dengan upacara nista, madya ataupun utama.

Adapun tahapan-tahapan upacara ngaben, yakni:

1. Sawa preteka/sawa wedana

Yaitu mengupacari jenazah orang yang baru meninggal (sering juga dalam masyarakat disebut ngaben mendadakan yang sifatnye segera).

Pada system ini menggunakan macam tirta di antaranya: tirta penembak, pengelukatan, pengentas, kawitan dan khayangan tiga.

2. Asti wedana

Yaitu mengupacarai jenazah setelah menjadi tulang .

3. Atma wedana /nyekah

Yaitu upacara yanh dilaksanakan setelah upacara sawa preteka selesai. Tujuan upacara ini untuk meningkatkan kesucian roh yang meninggal yang semula berstatus “preta” menjadi “ritara” bahkan menjadi Dewa Hyang Pitara.

“MENGAPA SAWA DIBAKAR TATKALA MELAKUKAN PITRA YADNYA.???????”

Pitra yadnya mempunyai arti tersendiri yakni upacara keagamaan yang diadakan untuk menyalenggarakan atau nyangaskara jenazah atau roh keluarga yang meninggal dengan berbagai sesajen dan alat-alat upakara sebagai sarananya. Melakukan pitra yadnya adalah suatu swadharma. Upacara ini bersumber dari tattwa agama sendiri. Dengan demikian tradisi adalah suatu tugas suci, swadhrma yang mutlak karena sudah merupakan hutang.

Mengapa demikian.?????? Karena pengikat paling utama yang mempertautkan anak-anak dengan orang tua atau leluhurnya adalah “tali sutra” yang maha halus yang disebut cinta kasih. Tali kasih yang halus ini dipupuk dan dipersubur pula dengan ditanamkannya ajaran tatwaning dumadi, menurut tattwa agama.

Pada hakikatnya stula sarira manusia setiap makhluk hidup terdiri dari benda-benda yang sama saja asalnya dengan benda-benda isi alam semesta yang ada di sekitar kita. Semuanya berasal dari unsur panca maha butha yang terdiri dari pratiwi, apah, teja, bayu, akasa.Dari panca maha bhuta ini kita meminjam zat-zat yang membuat kita hidup. Kita berhutang kepada panca maha bhuta itu terkait wungkul berbentuk stula sarira baik sewaktu masih hidup maupun setelah meninggal.

Selama masih hidup, kita berusaha menjaga dan mempertahankan stula sarira ini. Nanum setelah meninggal, unsur-unsur stula sarira ini harus dikembalikan ke asal mulanya yakni panca maha bhuta. Pada saat inilah berjalan swadarma dari keturunannya (keluarga) yang telah berjasa kepada orang tua atau leluhur yang telah memberikan kama bang dan kama petak.

Maka dapat kita simpulkan, pembakaran mayat merupakan simbol dari pengembalian unsur-unsur panca maha bhuta yang telah kita pinjam selama hidup, yang kita jaga dan rawat sebagai stula sarira kita. Pembakaran mayat bertujuan untuk memusnahkan segenap jasad sawa sahalus-halusnya sehingga wujud sawa dari benda yang wungkul menjadi unsur, elemen atau mahabhuta, lebih halus dari abu. Dengan musnahnya benda-benda jasad menjadi mahabhuta, maka hilanglah daya kekuatannya untuk mengikat segala jenis kemampuan manusia (dasendria, dasa bayu, manah, budi, ahangkara dan sevagainya). Dengan kembalinya unsur-unsur panca maha bhuta, maka dapatlah sang atma secara bebas menuju alam lain yang sewajarnya.